Minggu, 06 Oktober 2013

Asia-Pacific Disaster Risk Reduction and Resilience


Leaders  from  academics,  government,  commerce,  and  non-profit organizations  will  come
together for a multi-­level discussion on the issue of disaster risk reduction and resilience in the Asia-­Pacific region with a special focus on Indonesia.
The symposium will provide
an understanding of the challenges of disaster risk reduction and resilience in Indonesia, set achievable goals towards resilience, and determine how to link approaches with climate change adaptation   and   sustainable   development.   Sharing   know-­how,   best   practices   and  lessons learned will be a central focus of the symposium and related workshops
.

Pemetaan Risiko tanah longsor di Kabupaten Bantul


Kejadian bahaya gerakan tanah berbeda dengan kejadian bahaya alam lainnya. Kejadian bahaya alam umumnya memiliki siklus tertentu (ada interval waktu antara satu kejadian dengan kejadian lainnya), yang waktunya bervariasi dari tahunan (seperti banjir) hingga ribuan tahun (erupsi gunung api). Sebaliknya kejadian gerakan tanah sangat tergantung pada tingkat kegiatan manusia untuk merubah lereng, dalam hal ini bila lereng dirubah maka gerakan tanah akan sering terjadi, namun bila lereng dibiarkan dalam kondisi alami maka interval kejadiannya lebih lama. 
Oleh karena itu risk assesment untuk keperluan bahaya gerakan tanah harus memperhitungkan tingkat kemungkinan  kejadian dan probable severity dari kegiatan manusia. Dalam konsep ini bukan hanya tingkat kemungkinan kejadian (probable frequncy) saja yang dipertimbangkan namun juga tingkat kemungkinan kejadian terburuk (probable severity) yang akan terjadi pada  kondisi tertentu  Selanjutnya dari risk assesment ini ditentukan upaya yang harus dilakukan sesuai dengan probabilitas kejadiannya. 
Area pemetaan 8 desa di Bantul berdasarkan hasil dari pemetaan resiko terhadap bencana tanah longsor terbagi atas:
a. Tingkat resiko rendah, berwarna hijau yang, mayoritas berada di bagian barat dan mempunyai kelerengan yang rendah atau hampir datar, dengan penggunaan lahan adalah persawahan, sedikit berupa permukiman dan kebun campuran
b.  Tingkat resiko sedang, berwarna kuning, meliputi sebagian besar di 6 desa selain Srimulyo dan Srimartani, mempunyai kelerengan sedang atau miring dengan penggunaan lahan berupa sebagian besar ladang dan kebun campuran, sedikit berupa sawah dan permukiman.
c. Tingkat resiko tinggi, berwarna merah, berada di area yang mempunyai kelerengan yang curam, terdapat sekitar 30% dari daerah penelitian kecuali di desa Srimulyo yang mencakup hampir di seluruh area. penggunaan lahan berupa sebagian besar ladang dan kebun campuran, sedikit berupa sawah, permukiman serta hutan.

Permen tape merupakan salah satu jenis ekonomi produktif di Magelang


Permen tape makanan olahan yang  baru dijalankan oleh 4 (empat) pelaku kesemuanya adalah warga huntap, bahan baku pembuatan permen tape diperoleh dipasar muntilan yang merupakan pasar terdekat yang mampu  menyediakan apa yang mereka butuhkan dengan harga yang lebih murah disbanding pasar lainnya, Pemasaran produk ini  sudah sangat bagus yaitu jaringan pasar di pusat oleh – oleh kota Muntilan, Magelang dan wilayah Yogyakarta, Ngawi dan Sragen.

Pengolahan permen tape dilakukan di huntap yang sebelumnya kegiatan ini sudah dijalankan sebelum erupsi merapi. Peralatan yang dibutuhkan untuk memproduksi permen tape adalah peralatan yang sederhana yaitu wajan, tungku, lengser, pisau dan penggiling kelapa. Modal peralatan tersebut merupakan modal atau biaya tetap yang di akumulasikan sekitar Rp.3.000.000,-. Tenaga kerja pengolah ada yang bertugas mengaduk adonan, mengiris dan membungkus, Dalam pembuatan permen tape sekali olah membutuhkan bahan berupa Gula pasir sebanyak 7 Kg dengan harga gula perkilogramnya adalah Rp.11.000,- jadi kebutuhan gula pasir sendiri dengan biaya Rp.77.000,- selain gula bahan lainnya yaitu Tape sekali produksi kebutuhan tape seberat 5 Kg dengan harga perkilogramnya adalah Rp.3.000,- jadi nilai bahan tape dalam sekali produksi adalah Rp. 15.000,-. Bahan lain adalah kelapa dengan jumlah 6 butir kelapa perbutirnya adalah Rp.5000,- jadi kebutuhan kelapa 6 butir adalah Rp.30.000,- . Bahan bakar untuk pengolahan adalah kayu dengan sekali produksi membutuhkan kayu satu ikat dengan harga sekitar Rp. 3.000,- dan plastic untuk membungkus permen senilai Rp. 6.000,-.Total biaya produksi dari bahan sudah senilai Rp. 131.000,- dan dari bahan tersebut mampu menghasilkan permen tape seberat 10 kg dengan harga perkilogram permen tape yaitu Rp.14.000,- dengan total pendapatan sebesar Rp.140.000,-. Dengan biaya modal senilai Rp. 131.000,- hanya mampu memperoleh margin sebesar Rp 9.000,- secara untuk 10 kg permen tape, masih sangat kecil tingkat margin yang diperoleh, belum terhitung biaya tenaga kerja maupun penyusutan peralatan yang semestinya dimasukan dalam komponen penentuan harga perkilogram dari produk yang dihasilkan sehingga mampu memperoleh tingkat keuntungan yang sebanding dengan biaya modalnya. Salah satu untuk menekan biaya produksi adalah  pemanfaatan lahan yang ada dapat dimaksimalkan untuk ditanami tanaman pendukung kegiatan ekonomi usahanya seperti ketela dan kelapa sebagai bahan dasar produksi permen tapenya.

Kondisi Livelihood Pasca Erupsi Merapi


Desa sasaran yang menjadi konsentrasi dalam Pengembangan Ekonomi Produktif (Livelihood) yang mendukung pemukiman kembali Di Propinsi Yogyakarta  meliputi 3 (tiga) kecamatan di 7 (tujuh) desa sedangkan lokasi sasran di Propinsi Jawa Tengah meliputi 5 (lima) kecamatan di 15 (lima belas) desa. Dari semua desa tersebut diatas hanya 19 desa yang terfasilitasi pembangunan huntap untuk para korban erupsi merapi, sedangkan 3 (tiga) di Kabupaten Boyolali tidak ada huntapnya, hal ini dikarenakan ke tiga desa tersebut meskipun berada di KRB III namun tidak terdampak oleh erupsi merapi sehingga tidak ada yang rusak dan pemerintah daerah setempat belum mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pemukiman kembali dilokasi – lokasi yang berada di kawasan bencana. Dari desa – desa yang ada di kabupaten magelang seperti Desa Sirahan warga berpindah ke huntap yang ada di Desa Ngawen, Sukorini dan Jumoyo sedangkan warga Desa Blongkeng berpindah ke Desa Ploso Gede dan Jamus Kauman. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam peta dibawah ini.
                    
        
Gambar 2.1. Peta terdampak erupsi Merapi 2010

Penyusunan konsep pengembangan ekonomi produktif dilakukan melalui pemetaan umum terhadap kondisi penghuni hunian tetap korban erupsi Gunung Merapi dan mata pencaharian yang menopang perekenomian keluarga dengan mempertimbangkan tiga faktor utama berikut : ketersediaan modal manusia, kemampuan modal sosial , dan dukungan masyarakat dalam melestarikan kelestarian lingkungan. Keterkaitan dari ketiga elemen tersebut, pada dasarnya  merupakan proses dialektika kondisi lingkungan yang baru dalam menghadapi perubahan perilaku sebagai konsekuensi untuk setiap proses yang diambil untuk meningkatkan pendapatan dan penghidupan paska letusan Gunung Merapi.

Keberadaan sumber daya manusia yang didukung oleh interaksi modal sosial merupakan komponen utama dalam proses membangun ekonomi produktif warga hunian tetap (huntap). Kondisi sosial yang tercipta di lingkungan baru menyebabkan tumbuhnya kompleksitas kepentingan individu untuk bertahan dalam situasi yang sulit paska letusan Gunung Merapi dan hidup harmonis bersama budaya yang sebelumnya belum pernah mereka alami. Kondisi prasarana dan sarana infrastruktur serta kapasitas atau keahlian dan aspnek sosial yang telah berkembang selam ini merupakan penghambat tumbuhnya ekonomi produktif. Budaya masyarakat yang menjalani kehidupan secara apa adanya atau sederhana dapat menafikkan kesempatan untuk membangun kehidupan yang lebih baik yang mampu mempercepat pemulihan, menjadikan kegiatan ekonomi memiliki nilai tambah dan berkelanjutan.

Mensikapi kondisi masyarakat huntap tersebut, maka pada Kegiatan Penyusunan Konsep Pengembangan Ekonomi Produktif (Livelihood) Guna Mendukung Permukiman Kembali Melalui Kegiatan Rekompak diprioritaskan untuk mengakomodasi variasi kontekstual sosial budaya warga huntap melalui pendekatan partisipatif untuk mengetahui kondisi penghidupan yang sedang dijalani di lokasi permukiman kembali. Kegiatmemahami saat-saat pemulihan dan membangun kesadaran baru kepada masyarakat . Tim kajian selanjutnya membantu pelaku usaha di huntap untuk mengidentifikasi berbagai kegiatan penghidupan serta pengalamannya sebelum terjadinya erupsi Gunung Merapi serta berbagai aktivitas yang telah berlangsung di huntap. Jalinan komunikasi dalam bentuk dialog mampu membangkitkan kembali kesadaran masyarakat untuk membangun penghidupannya kembali utamanya kehidupan sosial yang bermodalkan kebersamaan dan gotong royong.

Fasilitasi warga huntap menjadi bagian penting utamanya dalam membangun kelembagaan yang dapat menjadi ruang inovasi para anggotanya dalam rangka percepatan pemulihan dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.  Peran kelembagaan sangatlah penting sebagai langkah strtategis dalam penguatan struktur manajemen, sehingga dinamika sosial warga huntap dapat diarahkan melalui mekanisme koordinasi kegiatan yang efisien dan efektif dalam mencapai tujuan hidup yang berkelanjutan. Secara umum, ada tiga masalah dasar yang dihadapi oleh warga huntap akibat erupsi Gunung Merapi, yaitu masalah lingkungan, ekonomi dan sosial.